Hakikat
kesabaran
inilah
yang ditulis Ibnul Qayyim dalam bukunya Kemuliaan Sabar dan Keagungan
Syukur tentang hakikat Sabar dan Pendapat
para ulama tentang sabar.
Sabar pada hakekatnya adalah sebuah
akhlak yang tertinggi di antara sekian banyak perangai jiwa. Sebuah akhlak yang
berusaha untuk menghalangi seseorang melakukan tindakan tidak terpuji. Ini
merupakan salah satu daya kejiwaan yang hanya dengannyalah jiwa bisa tegak dan
berjalan lurus.
Al-Junaid bin Muhammad
pernah ditanya tentang sabar. Dia menjawab: “Perumpamaan orang sabar adalah
seperti orang yang meneguk minuman pahit, akan tetapi dia tidak mengerutkan
mukanya dan tidak bahwa itu pahit.”
Dzunnun al-Mishri berkata:
“Sabar adalah usaha untuk menjauhi segala larangan Allah. Sikap tenang dalam
menghadapi segala macam duka cita yang membelit. Menampakkan sikap layaknya
orang kaya disaat dia didera kefakiran dalam kehidupan sehari-hari.”
Dikatakan: “Sabar adalah
menerima segala macam cobaan dengan tenang dan tabah.”
Dikatakan: “Sabar adalah
berusaha untuk bersikap layaknya orang yang tidak diterpa apa-apa ketika sedang
ditimpa kesusahan. Tidak sedikit pun ada keluhan terlontar dari mulutnya.”
Abu ‘Utsman berkata: “Orang
sabar adalah yang bisa membiasakan dirinya memerangi segala sesuatu yang
dilarang oleh Allah.”
Dikatakan: “Kesabaran
adalah suasana batin seseorang ditimpa musibah dia menghadapinya dengan senang
layaknya orang yang sedang mendapatkan siraman kebahagiaan.” Artinya, dia tetap
beribadah kepada Allah baik di waktu ada musibah ataupun tidak. Dalam keadaan
sehat, dia senantiasa bersyukur, sementara dalam kondisi sakit dia bersabar.
‘Amr bin ‘Utsman al-Makki
berkata: “Sabar adalah sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari Allah. Orang
yang sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada.” Artinya, dia
menerima semua bencana dari Allah dengan hati seluas samudera dan sama sekali
tidak dihinggapi kesedihan ataupun kemarahan sehingga menjurus pada
pemaki-makian.
Para ulama yang telah
mencapai derajat yang tinggi berkata “Sabar adalah sikap teguh dalam memegangi
kandungan al-Qur’an dan sunnah.”
Ruwaim berkata: “Sabar
adalah meninggalkan keluh kesah dan hanya mengikuti jalannya takdir.”
Para ulama lain menyatakan:
“Sabar adalah meminta pertolongan kepada Allah semata.”
Abu ‘Ali berkata: “Sama
dengan idiomnya, sabar bermakna menahan diri.”
‘Ali bin Abi Thalib
berkata: “Sabar adalah sebuah kendaraan yang tidak akan pernah jatuh
tersungkur.”
Abu Muhammad al-Jaziri
berkata: “Sabar adalah tidak adanya perbedaan sikap dalam meng-hadapi musibah
dan kenikmatan. Hati yang sabar akan terus bersikap tenang dalam menghadapi dua
hal ini.”
Bagi saya (Ibnul Qayyim),
pendapat terakhir ini walaupun benar, akan tetapi tidak semua orang bisa
melakukannya serta kita tidak diperintahkan melakukan hal itu. Allah telah
menetapkan bahwa tabiat kita memang akan membedakan antara musibah dengan
kenikmatan sebagai dua hal berbeda. Akan tetapi yang diperintahkan Allah adalah
menahan diri agar tidak mengeluh dan marah-marah, bukannya menyamakan antara
dua kondisi ini.
Karena harus diakui bahwa
kondisi sehat tanpa musibah lebih disukai oleh semua orang dari-pada harus
bersabar. Sebagaimana Rasulullah saw juga pernah bersabda dalam sebuah do’anya:
“Wahai Allah, kalau Engkau tidak marah kepadaku maka aku tidak punya keinginan
apa-apa kecuali kesehatan, dan maaf dapat Engkau curahkan kepadaku seluas-luasnya.”
Ini sama sekali tidak
bertentangan dengan sabda Rasulullah saw: “Seseorang tidak akan per-nah
dilimpahi karunia yang lebih besar dan luas daripada kesabaran.”
Karena hadits ini berlaku
dalam konteks ketika musibah sudah datang, maka tidak ada lagi yang bisa
melapangkan hati kecuali kesabaran itu sendiri. Akan tetapi kalau musibah itu
turun, maka tentunya kesehatan itu lebih didahulukan.
Abu ‘Ali al-Daqaq pernah
berkata: “Batasan sabar adalah apabila seseorang tidak mengingkari takdir.
Adapun sikap yang diperlihatkan dalam menghadapi sebuah musibah itu walaupun
bernada keluhan, maka hal itu tidak menafikan kesabaran.
Allah berfirman tentang
Nabi Ayyub, yang artinya: “Sesungguhnya Kami dapati dia [Ayyub] seorang yang
sabar,” [QS Shad: 44].
Sementara, perkataan Ayyub
sendiri: “[Ya Tuhanku], sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit,” [QS
al-Anbiya’: 83]
Bagi saya kata-kata keluhan
yang diucapkan oleh Ayyub ini harus ditafsirkan secara harfiah. Artinya, memang
dia sempat mengeliarkan keluhan.
Pernyataan Abu ‘Ali
al-Daqaq tentang sikap yang bernada keluhan perlu mandapatkan perhatian di
sini. Karena keluhan ada dua macam:
Pertama,
keluhan kepada Allah. Ini sama sekali tidak
menghilangkan nilai sabar.Sebagaimana Nabi Ya’qub pernah berkata, yang artinya:
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku,”
[QS Yusuf: 86]. Bersamaan dengan firman Allah, yang artinya: “Maka kesabaran
yang baik itulah [kesabaran ku].” [QS Yusuf: 18]. Nabi Ayyub juga pernah
merintih: “[Ya Tuhanku], sesungguhnya aku pernah ditimpa penya-kit” [QS
al-Anbiya: 83]. Tetapi Allah masih menyebutnya sebagai orang yang sabar.
Sementara itu, Rasulullah
saw sendiri pernah memanjatkan do’a kepada Allah: “Wahai Allah sesungguhnya
aku mengadukan kelemahanku ini kepada-Mu dan aku mengadukan kurang cerdikku
kepada-Mu...”
Nabi Musa sendiri pernah
berdo’a seperti ini: “Wahai Allah, bagi-Mu dan hanya kepada-Mu lah tempat untuk
mengeluh dan mengadu, Engkau adalah tempat untuk minta pertolongan, Engkau
tempat minta bantuan, Engkau tempat memasrahkan diri, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali ha-nya milik-Mu.”
Kedua,
keluhan yang diucapkan dengan bibir dan
sekaligus diwujudkan dalam tindakan. Ini adalah sebuah sikap yang tidak sejalan
dengan kesabaran. Bahkan bertabrakan dengannya.
Artinya, memang ada
perbedaan antara keluhan yang diucapkan langsung olehnya kepada orang lain
dengan keluhan yang hanya diucapkan kepada Allah. Karena hanya Dialah tempat
mengadu.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar