Kamis, 29 November 2012

hakikat kesabaran


Hakikat kesabaran

inilah yang ditulis Ibnul Qayyim dalam bukunya Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur tentang hakikat Sabar dan Pendapat para ulama tentang sabar.

Sabar pada hakekatnya adalah sebuah akhlak yang tertinggi di antara sekian banyak perangai jiwa. Sebuah akhlak yang berusaha untuk menghalangi seseorang melakukan tindakan tidak terpuji. Ini merupakan salah satu daya kejiwaan yang hanya dengannyalah jiwa bisa tegak dan berjalan lurus.

Al-Junaid bin Muhammad pernah ditanya tentang sabar. Dia menjawab: “Perumpamaan orang sabar adalah seperti orang yang meneguk minuman pahit, akan tetapi dia tidak mengerutkan mukanya dan tidak bahwa itu pahit.”

Dzunnun al-Mishri berkata: “Sabar adalah usaha untuk menjauhi segala larangan Allah. Sikap tenang dalam menghadapi segala macam duka cita yang membelit. Menampakkan sikap layaknya orang kaya disaat dia didera kefakiran dalam kehidupan sehari-hari.”

Dikatakan: “Sabar adalah menerima segala macam cobaan dengan tenang dan tabah.”

Dikatakan: “Sabar adalah berusaha untuk bersikap layaknya orang yang tidak diterpa apa-apa ketika sedang ditimpa kesusahan. Tidak sedikit pun ada keluhan terlontar dari mulutnya.”

Abu ‘Utsman berkata: “Orang sabar adalah yang bisa membiasakan dirinya memerangi segala sesuatu yang dilarang oleh Allah.”

Dikatakan: “Kesabaran adalah suasana batin seseorang ditimpa musibah dia menghadapinya dengan senang layaknya orang yang sedang mendapatkan siraman kebahagiaan.” Artinya, dia tetap beribadah kepada Allah baik di waktu ada musibah ataupun tidak. Dalam keadaan sehat, dia senantiasa bersyukur, sementara dalam kondisi sakit dia bersabar.

‘Amr bin ‘Utsman al-Makki berkata: “Sabar adalah sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari Allah. Orang yang sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada.” Artinya, dia menerima semua bencana dari Allah dengan hati seluas samudera dan sama sekali tidak dihinggapi kesedihan ataupun kemarahan sehingga menjurus pada pemaki-makian.

Para ulama yang telah mencapai derajat yang tinggi berkata “Sabar adalah sikap teguh dalam memegangi kandungan al-Qur’an dan sunnah.”

Ruwaim berkata: “Sabar adalah meninggalkan keluh kesah dan hanya mengikuti jalannya takdir.”

Para ulama lain menyatakan: “Sabar adalah meminta pertolongan kepada Allah semata.”

Abu ‘Ali berkata: “Sama dengan idiomnya, sabar bermakna menahan diri.”

‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Sabar adalah sebuah kendaraan yang tidak akan pernah jatuh tersungkur.”

Abu Muhammad al-Jaziri berkata: “Sabar adalah tidak adanya perbedaan sikap dalam meng-hadapi musibah dan kenikmatan. Hati yang sabar akan terus bersikap tenang dalam menghadapi dua hal ini.”

Bagi saya (Ibnul Qayyim), pendapat terakhir ini walaupun benar, akan tetapi tidak semua orang bisa melakukannya serta kita tidak diperintahkan melakukan hal itu. Allah telah menetapkan bahwa tabiat kita memang akan membedakan antara musibah dengan kenikmatan sebagai dua hal berbeda. Akan tetapi yang diperintahkan Allah adalah menahan diri agar tidak mengeluh dan marah-marah, bukannya menyamakan antara dua kondisi ini.

Karena harus diakui bahwa kondisi sehat tanpa musibah lebih disukai oleh semua orang dari-pada harus bersabar. Sebagaimana Rasulullah saw juga pernah bersabda dalam sebuah do’anya: “Wahai Allah, kalau Engkau tidak marah kepadaku maka aku tidak punya keinginan apa-apa kecuali kesehatan, dan maaf dapat Engkau curahkan kepadaku seluas-luasnya.”

Ini sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah saw: “Seseorang tidak akan per-nah dilimpahi karunia yang lebih besar dan luas daripada kesabaran.”

Karena hadits ini berlaku dalam konteks ketika musibah sudah datang, maka tidak ada lagi yang bisa melapangkan hati kecuali kesabaran itu sendiri. Akan tetapi kalau musibah itu turun, maka tentunya kesehatan itu lebih didahulukan.

Abu ‘Ali al-Daqaq pernah berkata: “Batasan sabar adalah apabila seseorang tidak mengingkari takdir. Adapun sikap yang diperlihatkan dalam menghadapi sebuah musibah itu walaupun bernada keluhan, maka hal itu tidak menafikan kesabaran.

Allah berfirman tentang Nabi Ayyub, yang artinya: “Sesungguhnya Kami dapati dia [Ayyub] seorang yang sabar,” [QS Shad: 44].
Sementara, perkataan Ayyub sendiri: “[Ya Tuhanku], sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit,” [QS al-Anbiya’: 83]

Bagi saya kata-kata keluhan yang diucapkan oleh Ayyub ini harus ditafsirkan secara harfiah. Artinya, memang dia sempat mengeliarkan keluhan.

Pernyataan Abu ‘Ali al-Daqaq tentang sikap yang bernada keluhan perlu mandapatkan perhatian di sini. Karena keluhan ada dua macam:
Pertama, keluhan kepada Allah. Ini sama sekali tidak menghilangkan nilai sabar.Sebagaimana Nabi Ya’qub pernah berkata, yang artinya: “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku,” [QS Yusuf: 86]. Bersamaan dengan firman Allah, yang artinya: “Maka kesabaran yang baik itulah [kesabaran ku].” [QS Yusuf: 18]. Nabi Ayyub juga pernah merintih: “[Ya Tuhanku], sesungguhnya aku pernah ditimpa penya-kit” [QS al-Anbiya: 83]. Tetapi Allah masih menyebutnya sebagai orang yang sabar.

Sementara itu, Rasulullah saw sendiri pernah memanjatkan do’a kepada Allah: “Wahai Allah sesungguhnya aku mengadukan kelemahanku ini kepada-Mu dan aku mengadukan kurang cerdikku kepada-Mu...”

Nabi Musa sendiri pernah berdo’a seperti ini: “Wahai Allah, bagi-Mu dan hanya kepada-Mu lah tempat untuk mengeluh dan mengadu, Engkau adalah tempat untuk minta pertolongan, Engkau tempat minta bantuan, Engkau tempat memasrahkan diri, tidak ada daya dan kekuatan kecuali ha-nya milik-Mu.”
Kedua, keluhan yang diucapkan dengan bibir dan sekaligus diwujudkan dalam tindakan. Ini adalah sebuah sikap yang tidak sejalan dengan kesabaran. Bahkan bertabrakan dengannya.

Artinya, memang ada perbedaan antara keluhan yang diucapkan langsung olehnya kepada orang lain dengan keluhan yang hanya diucapkan kepada Allah. Karena hanya Dialah tempat mengadu.
.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar